1. Marah
Rusli
Marah
Rusli bin Abu Bakar dilahirkan di Padang, 07 Agustus 1889. Ayahnya bernama Abu
Bakar, beliau seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja
sebagai Demang. Sedangkan ibunya, adalah berasal dari Jawa dan keturunan Sentot
Alibasyah, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Marah
Rusli bersekolah dasar di Padang yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantar. Setelah lulus, ia melanjutkan ke sekolah Raja (Kweek School)
di Bukittinggi, lulus tahun 1910. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah ke Vee
Arstsen School (sekolah dokter hewan) di Bogor dan lulus tahun 1915.
Setelah tamat, ia ditempatkan di Sumbawa Besar sebagai Ajung Dokter Hewan.
Tahun 1916 ia menjadi Kepala Peternakan.
Pada
tahun 1920, Marah Rusli diangkat sebagai asisten dosen Dokter Hewan Wittkamp di
Bogor. Karena berselisih dengan atasannya, orang Belanda, ia diskors selama
setahun. Selama menjalani skorsing itulah ia menulis novel Siti Nurbaya pada
tahun 1921. Karirnya sebagai dokter hewan membawanya berpindah-pindah ke
berbagai daerah. Tahun 1921-1924 ia bertugas di Jakarta, kemudian di Balige
antara tahun 1925-1929 dan Semarang antara tahun 1929-1945.
Tahun
1945, Marah Rusli bergabung dengan Angkatan Laut di Tegal dengan pangkat
terakhir Mayor. Ia mengajar di Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten tahun 1948
dan sejak tahun 1951 ia menjalani masa pensiun.
Marah
Rusli menikah dengan seorang gadis keturunan Sunda kelahiran Buitenzorg
(Bogor) pada tahun 1911. Mereka mempunyai 3 orang anak, dua di antaranya
laki-laki dan satu perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis sunda
bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli. Tetapi, Marah
Rusli tetap kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Kesukaannya
dalam dunia kesusastraan sudah tumbuh sejak kecil. Dia sangat senang
mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba (tukang dongeng di
Sumatra Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku
sastra). Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan
dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
Dalam
sejarah sastra Indonesia. Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang
pertama dan diberi gelar oleh H.B Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia.
Sebelum muncul bentuk roman Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan
adalah hikayat.
Marah
Rusli berpendidikan sangat tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang
berasal dari luar negeri yang menggambarkan kemajuan zaman. Kemudian dia
melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkan ke dalam
karyanya, Siti Nurbaya. Dia ingin melepaskan masyarakat dari
belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan
pendapat atau keinginannya.
Dalam
cerita Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang
mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai
memikirkan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan
tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Cerita
ini menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan
itulah yang terus melekat hingga sampai sekarang.
Selain Siti
Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan
tetapi, Siti Nurbaya yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah
tahunan dalam bidang sastra dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun
1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Karya-karya Marah Rusli diantaranya:
·
Siti Nurbaya (1922)
·
La Hami (1924)
·
Anak dan Kemenakan
(1956)
·
Memang Jodoh
(otobiografi)
·
Gadis Yang Malang terjemahan novel karya Charles Dickens
(1922)
Antara
pantai Purus dengan pantai Air Manis terdapat sebuah bukit yang oleh penduduk
dinamakan gunung Padang. Di bukit itu Siti Nurbaya, seorang gadis dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli
dikuburkan. Kisah Siti Nurbaya telah menjadi legenda, sehingga rakyat menamakan
bukit itu bukit Siti Nurbaya.
2. Roestam
Effendi
Roestam Effendi lahir pada tanggal
13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat, dan meninggal dunia di Jakarta pada
tanggal 24 Mei 1979. Keberadaannya dalam khasanah sastra Indonesia, cukup
penting. Ia tidak hanya dianggap sebagai pembaru penulisan sajak (dan drama)
pada tahun 1920-an (lihat misalnya Teeuw, 1995 dan Junus, 1981), tetapi juga
dikenal sebagai salah seorang yang gigih memperjuangkan nasib bangsanya.
“Rustam Effendi, mungkin oleh sempitnya bergerak di Indonesia kemudian pergi ke
negeri Belanda dan bergerak di lapangan parlementer di sana memperjuangkan
nasib bangsanya,” demikian tulis Jassin (1954). Namun sayang, latar belakang
keluarga Rustam Effendi tidak banyak dibicarakan orang.
Menurut Zuber Usman (1956), Rustam
Effendi adalah tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi. Rustam kemudian
melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (HKS)
'Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra’ Bandung. Pada tahun 1926 ia
meninggalkan Indonesia, pergi ke negeri Belanda. Ia pergi ke negeri Belanda
untuk melanjutkan pendidikannya. Selama di negeri Belanda, Rustam Effendi
berhasil menempuh hoofdakte. Ia juga menggabungkan dirinya dalam Communistische
Party Nederland, ‘Partai Komunis Belanda’.
Setamat dari HKS Bandung, sebelum
berangkat ke negeri Belanda, Rustam Effendi sempat beberapa lama menjadi guru
kepala di sekolah Adabiah, Padang. Padahal, sebelum itu ia pernah diangkat oleh
Dep. V. O & E menjadi waarnemend hoofd pada HIS Siak, Sri Indrapura. Namun.
karena ia membenci pemerintah Belanda, pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia
kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama Adabiah. Sebagai guru
kepala di sekolah partikelir tersebut, Rustam merasa memiliki kemerdekaan untuk
berbuat besar daripada rekan-rekannya yang bekerja pada pemerintah Belanda.
Oleh karena itu, di samping bebas menulis, ia juga sempat terjun di dunia jurnalistik
dan politik. Keaktifannya di dunia politik membuat konsentrasi Rustam berubah.
Ia tidak puas berjuang hanya melalui sastra. Pada tahun 1926 ia pergi ke negeri
Belanda dan bergabung dengan Partai Komunis Nederland. “Saya meninggalkan
lapangan sastra Indonesia karena ingin memperjuangkan kemerdekaan nasional
secara langsung dan aktif di lapangan politik,” demikian pengakuannya (Rosidi.
1969).
Sejak masih duduk di bangku sekolah,
Rustam sudah banyak menaruh minat pada kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak
memperbarui dunia sandiwara, yang saat itu lebih bersifat komedi-stambul
(Usman. 1956). Keterikatannya pada kebudayaan, khususnya sastra, dibuktikan
melalui kerajinannya membaca hasil kesusastraan Melayu, seperti hikayat, syair.
pantun, dan talibun, juga melalui kegigihannya mempelajari kesusastraan Belanda
dan kesusastraan asing lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
sewaktu masih muda Rustam sudah mengenal sastra asing, seperti karya Lodewijk
V. Deysel, Helena Swart, Goner, Henriette Rolland Hoist, van der Schalk,
Shakespeare, Dickens, dan Vondel.
Pada masa awal kepengarangannya,
dalam menulis, Rustam Effendi sering menggunakan nama samaran yaitu Rahasia Emas,
Rantai Emas, dan Rangkayo Elok. Nama samaran itulah yang digunakan Rustam dalam
sajaknya yang dimuat dalam sebuah majalah di Padang yang berjudul Asjraq. Sajak
yang dimuat di Asjraq itulah yang menjadi cikal bakal karyanya Percikan
Permenungan.
Berbeda dengan proses lahirnya
Percikan Permenungan, lahirnya Babasari karena mendapat dorongan murid sekolah
MULO di Padang yang saat itu akan mengadakan pesta sekolah dengan pementasan
drama sebagai salah satu acaranya. Karena belum ada naskah drama, lahirlah
Bebasari meskipun tidak jadi dipentaskan (karena dilarang).
Barangkali benar kata Ajip (1969)
bahwa Rustam tak mempercayai lagi pada kekuatan kata-kata belaka. Sejak ia
terjun ke dunia politik, Rustam tidak berkarya lagi. Selama masa
kepengarangannya, ia hanya melahirkan dua buah buku, yakni:
·
Bebasari (drama tiga
babak), dan
·
Percikan Permenungan
(kumpulan puisi).
3. Zuber
Usman
Zuber Usman lahir di Padang,
Sumatera Barat pada 12 Desember 1916. Ia mengenyam pendidikan di
sekolah-sekolah Islam sejak kecil. Tamat dari Adabiyah School di Padang, ia belajar ke Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Pada tahun 1937, setelah menyelesaikan pendidikannya di perguruan
tinggi Islamic College di Padang, ia
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dan menjadi guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah Muhammadiyah. Ia terus mengajar di berbagai sekolah sampai ia
meninggal.
Selama periode pendudukan Jepang di
Indonesia (1942–1945) dan perjuangan perang kemerdekaan (1945–1949), ia menulis
sejumlah cerita pendek yang umumnya berkaitan dengan tema ketekunan dan
perjalanan menuju cinta sejati. Sebelas dari cerita pendek yang ia tulis
kemudian disusun dalam antologi Sepanjang Jalan (dan beberapa cerita lain),
yang diterbitkan pada tahun 1953 oleh Balai Pustaka; pada tahun 2005, buku itu
telah mengalami cetakan ketiga. Setelah itu, ia menerbitkan dua buku sejarah
sastra Indonesia, yaitu Kesusastraan Lama Indonesia (1954) dan Kesusastraan
Baru Indonesia (1957). Kedua buku ini ditulis ringkas dan disusun berdasarkan
urutan waktu. Bekerja sama dengan H.B. Jassin, ia juga menerjemahkan beberapa
karya Poerbatjaraka yang kemudian ditulis dalam Tjerita Pandji pada tahun 1958.
Pada tahun 1960, ia menerbitkan sebuah karya akademis mengenai bahasa dan
sastra Indonesia berjudul Kedudukan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Zuber Usman lulus dari Universitas
Indonesia pada tahun 1961 dengan meraih gelar sarjana sastra sebelum
mendapatkan diploma pada tahun berikutnya. Selama lima belas tahun sesudah itu,
sampai ia meninggal di Jakarta pada tanggal 25 Juli 1976, ia menulis secara
ekstensif dan telah menghasilkan beberapa buku di antaranya 20 Dongeng
Anak-Anak (1971) dan Putri Bunga Karang (1973).
Zuber Usman merupakan orang yang
pertama kali yang mengemukakan ide pembentukan Fakultas Sastra dan Sosial
Budaya dalam makalah yang dipaparkannya pada seminar "Pembangunan Daerah
Sumatera Barat" di Padang pada tahun 1964. Makalah tersebut menuntut agar
sarana pendidikan di Sumatera Barat dikembangkan agar provinsi tersebut dapat
mengikuti perkembangan nasional, setelah beberapa tahun sebelumnya diasingkan
karena menjadi tempat duduknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.
Namun, Usman tidak membantu dalam urusan administratif sehingga fakultas itu
didirikan pada tahun 1982.
Drs. Zuber Usman, sastrawan dan budayawan
Minangkabau, merupakan orang yang pertama kali yang mengemukakan ide
pembentukan Fakultas Sastra dan Sosial Budaya dalam makalah yang dipaparkannya
pada seminar “Pembangunan Daerah Sumatera Barat” di Padang pada tahun 1964. Ia
memandang momen seminar itu sangat tepat karena membicarakan penataan kembali
perjalanan sejarah Sumatra Barat yang selama 3 tahun (1958-1961) menjadi basis
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)) yang mengakibatkan
kemunduran masyarakat Minangkabau. Di samping itu, hal yang terpenting adalah
bahwa seminar itu diadakan dalam rangka memperingati Dies Natalis Universitas
Andalas ke-8.
4. Yusrizal
KW
Yusrizal KW (lahir di Padang, Sumatera Barat, 2
November 1969) adalah wartawan, sastrawan, dan kritikus teater Indonesia.
Bergiat dalam bidang jurnalistik sejak tahun 1990-an, ia telah banyak menulis
cerpen, esai, dan puisi di berbagai media cetak. Puisi dan cerpennya telah
tersebar di sejumlah media massa baik lokal maupun nasional. Saat ini, ia
dipercaya sebagai Ketua Yayasan Citra Budaya Indonesia (YCBI), sebuah penerbit
swasta yang ia dirikan bersama beberapa rekannya, di antaranya Khairul Jasmi,
Nita Indrawati, dan Marfaizon.
Lahir pada 2 November 1969, Yusrizal menghabiskan
masa kecilnya di kota kelahirannya. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di
Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Padang. Setelah lulus, ia memilih untuk
melanjutkan kuliah pada Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Ekasakti. Namanya dikenal melalui sejumlah puisi dan cerpennya yang
dimuat di berbagai media cetak, di antaranya Kompas, Republika, Media
Indonesia, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Padang Ekspres, Singgalang, dan
Haluan. Beberapa puisinya ikut disertakan dalam berbagai antologi pusi, dan
satu cerpennya terpilih untuk antologi Pistol Perdamaian. Selain itu, dua kumpulan
cerpennya, Hasrat Membunuh dan Kembali ke Pangkal Jalan, masing-masing telah
diterbitkan pada tahun 2003 dan 2004. Pada tahun 2007, ia meraih Anugerah
Sastra Balai Bahasa Padang.
Karya-karya
Yusrizal KW, diantaranya:
·
Pistol Perdamaian
(1996)
·
Interior Kelahiran
(1996)
·
Hasrat Membunuh (2003)
·
Kembali ke Pangkal
Jalan (2004).
5. 5. Wisran Hadi
Wisran Hadi merupakan budayawan
Indonesia asal Padang yang pernah mendapatkan penghargaan dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Sastrawan Terbaik
Indonesia pada tahun 1991 dan tahun 2000. Pria yang lahir pada tanggal 27 Juli 1945
ini, dibesarkan dalam lingkungan pendidikan agama Islam yang taat. Ayahnya,
Haji Darwas Idris, adalah seorang Imam Besar Masjid Muhammadiyah Padang dan
juga seorang ahli tafsir terkemuka di Indonesia. Masa kecil Wisran banyak
dipengaruhi oleh kesenian Minangkabau tradisional, seperti pertunjukan randai
dan kaba-kaba (cerita) rakyat Minangkabau.
Wisran menyelesaikan pendidikan
dasar dan sekolah menengah di kota Padang. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, kini Institut Seni
Indonesia) Yogyakarta dan tamat tahun 1969. Pria yang pernah memenangkan
Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998 ini juga pernah mengikuti International
Writing Program di Iowa University Amerika Serikat pada tahun 1977 dan pernah
berpartisipasi dalam observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater
Jepang pada tahun 1987.
Anak ketiga dari tiga belas
bersaudara ini tidak hanya menggeluti dunia lukis dan sastra, tetapi juga
memasuki dunia akting dan aktif di berbagai kegiatan kesenian di tingkat daerah
dan nasional. Dalam dunia teater, Wisran sempat mendirikan sanggar Teater Bumi
pada tahun 1978 di Padang. Sementara hobinya sebagai penulis membuahkan hasil
sebagai penulis drama terkemuka di Indonesia yang memiliki ciri khas
kedaerahan. Selain menulis, melukis dan mengajar, aktivitas lain yang ia
lakukan semasa hidup adalah memberikan makalah pada berbagai seminar, baik di
Indonesia maupun di Malaysia.
Semasa hidup, Wisran lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan menulis setelah pensiun dari dosen tamu Fakultas
Sastra Universitas Andalas dan INS Kayu Tanam. Hal menarik dari karya-karya
ayah dari lima anak ini adalah upayanya dalam menghidupkan kembali tradisi dan
mitos lama Minangkabau dan Melayu ke dalam bentuk seni masa kini. Ia berupaya
mentransformasikan mitos dan nilai-nilai (lama) Minangkabau dalam bentuk yang
baru, seperti cerita lama Minangkabau Malin Kundang dikenal sebagai anak
durhaka, tetapi diubah oleh Wisran Hadi menjadi anak yang berguna.
Wisran Hadi tutup usia pada 28 Juni
2011 di usianya yang ke 65. Ia meninggal di kediamannya karena serangan
jantung.
Karya-karya Wisran Hadi
- ·Tamu (novel) diterbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti dan mendapat penghargaan Buku Utama dari IKAPI dan Dept. P dan K Jakarta. Sebelumnya diterbitkan secara bersambung pada Harian Umum Republika Jakarta.
- · Imam (novel) diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta. Sebelumnya secara bersambung telah diterbitkan Harian Umum Republika Jakarta.
- ·Orang-orang Blanti (novel) diterbitkan oleh Penerbit Citra Budaya, Padang.
- · Negeri Perempuan (novel) juga diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta.
- Dari Tanah Tepi (kisah perjalanan Haji) diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta. Sebelumnya secara bersambung telah diterbitkan Harian Singgalang Padang.
- Pelarian (novel) diterbitkan secara bersambung pada Harian Republika, Jakarta.
- Daun-daun Mahoni Gugur Lagi (kumpulan 22 buah cerpen) diterbitkan oleh Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. Malaysia.
- Guru Berkepala Tiga (kumpulan 22 buah cerpen) diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta.
- Puti Bungsu – Wanita Terakhir (drama) diterbitkan oleh Pustaka Jaya dan Balai Pustaka Jakarta dan termasuk dalam Antologi Drama Indonesia Jilid IV diterbitkan Yayasan Lontar Jakarta.
- Anggun Nan Tongga (drama) diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta sampai cetakan VI.
- Jalan Lurus (drama) diterbitkan PT Angkasa Bandung. Mendapat Hadiah Sastra 1991 oleh Pusat Pengembangan Bahasa, Dept. P dan K Jakarta. Buku tersebut juga mendapat hadiah sebagai buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997.
- Empat Sandiwara Orang Melayu (kumpulan naskah drama) diterbitkan PT Angkasa Bandung. Mendapat hadiah sebagai buku drama Indonesia terbaik oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2000 dan dipilih pula menjadi buku bacaan pelajar.
- Empat Lakon Perang Paderi (Kumpulan naskah drama tentang Perang Paderi) diterbitkan oleh Angkasa Bandung, pada tahun 2002 difilmkan oleh TVRI Pusat dengan judul PERANG PADERI.
- Roh dan Nyonya-nyonya (naskah pemenang naskah sayembara DKJ 2004) diterbitkan dalam Kumpulan Drama Sobrat diterbitkan Grasindo Jakarta.
- PEMBISIK diterbitkan dalam( kumpulan cerpen terbaik harian Republika), Jakarta.
- Wayang Padang, (drama). Dipentaskan di Padang dan TIM Jakarta Juli 2006
- Generasi Ketujuh, (novel). Diterbitkan secara bersambung pada Harian Umum Padang Ekspres mulai Mei s/d September 2007.
- Biografi Haji Amran, Pendiri Yayasan Pendidikan Baiturrahmah. Diterbitkan Yayasan Pendidikan Baiturrahmah, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar